Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2010-an di Papua Barat telah menimbulkan beberapa penolakan terhadap perampasan tanah (land grab) karena struktur kekuasaan dan geopolitik di baliknya. Perampasan tanah semakin menjadi bagian dari konflik politik dan sosial yang memprovokasi perjuangan lokal untuk mendapatkan kembali tanah mereka hingga menjadi kampanye global. Peran proaktif pemerintah pusat dan daerah, keterlibatan konglomerat agribisnis domestik, dan kekerasan yang ‘didukung’ negara adalah beberapa aspek spesifik perampasan tanah yang terjadi.
Di kasus MIFEE, perampasan tanah dicirikan oleh kesenjangan antara teritorialisasi terencana dan kenyataan investasi – yang mendorong resistensi terhadap perampasan tanah. Perlawanan ini terorganisir dengan baik sehingga berpeluang untuk menghentikan atau bahkan mengurangi fantasi perencanaan dari pemerintah dan perusahaan yang terlibat.
Dari perlawanan tersebut muncul beberapa strategi potensial namun juga beberapa batasan. Ada kontradiksi yang mencolok antara strategi hutan sebagai mata pencaharian, strategi etno-teritorial, dan strategi reformasi tanah. Strategi mata pencaharian di hutan mendasari aspirasi pembangunan masyarakat lokal, sedangkan strategi etno-teritorial mencegah aliansi berbasis kelas antara petani adat dan pendatang. Ketiga strategi tersebut saling terkait erat dan saling melengkapi satu sama lain mungkin menjadi kunci untuk mengembangkan model perlawanan baru.
Tantangan untuk menghadapi penolakan terhadap MIFEE adalah mengembangkan cara alternatif dan investasi pertanian yang lebih baik di program reformasi lahan yang diadaptasi secara lokal. Keberhasilan alternatif-alternatif ini sangat bergantung pada bagaimana mereka dikembangkan, terutama untuk petani kecil yang dipromosikan dan didukung oleh pemerintah atau masih menjadi pekerja kontrak yang berhutang. Perpecahan antara masyarakat adat dan transmigran membutuhkan strategi imajinatif dan kreatif untuk menciptakan alternatif yang menarik petani kecil di kedua grup. Foker LSM Papua sudah mengambil satu langkah ke arah tersebut. LSM ini mempertemukan kedua kelompok: Pendatang dan masyarakat asli Papua saling mendengarkan masalah satu sama lain dan sepakat bahwa keduanya bukan untuk disalahkan, tetapi pemerintah. Diskusi ini adalah langkah awal untuk menjawab konflik perampasan tanah.