Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan yang signifikan pada lahan yang memiliki potensi pertanian di beberapa kota di Indonesia. Luas lahan baku sawah (LBS) di delapan provinsi sentra beras nasional, yakni Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, telah mengalami penyusutan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, total LBS di delapan provinsi tersebut mencapai 3,97 juta hektare (ha), namun pada tahun 2021 mengalami penurunan menjadi 3,84 juta ha.
Imbas dari penyusutan lahan pertanian tersebut adalah inflasi bahan pangan yang terus mengalami peningkatan. Terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi yang signifikan terhadap harga semua beras. Pada 22 Januari 2024, harga beras medium secara nasional mencapai rata-rata Rp 13.260 per kilogram. Angka ini melebihi nilai tertinggi rata-rata nasional beras medium pada Oktober tahun sebelumnya, yang mencapai Rp 13.210 per kilogram. Kebanyakan masyarakat tidak mau memanfaatkan lahan subur untuk pertanian karena tingginya biaya produksi dalam bertani. Ongkos produksi yang terus melonjak tinggi, seperti halnya pupuk dan biaya sewa lahan membuat para petani berpikir dua kali. Selain itu, harga pangan yang tidak stabil dan cenderung mengalami penurunan menjadi risiko lain yang harus dihadapi oleh petani.
Data World Bank tahun 2018 mengkonfirmasi jika Indonesia yang dikenal sebagai negara yang subur terus mengalami pengurangan lahan pertanian. Pada tahun 1961 dikonfirmasi jika hanya terdapat lahan subur per kapitanya 0,2 ha per orang. Jumlah ini mengalami penurunan yang cukup signifikan di tahun 2018, dan hanya menjadi 0,098 ha. Jelas hal ini menjadi permasalahan di tengah lajunya pertumbuhan di Indonesia yang membutuhkan jumlah pangan yang besar.
Ika Zahra Qurani, dkk mengemukakan jika lahan suboptimal bisa menjadi lahan pertanian yang subur asalkan tanah tersebut diolah dengan manajemen air yang efektif dan teknologi tanah yang tepat. Terdapat teknologi pengolahan air yang dikenal sebagai “trio tata air.” Sistem ini memiliki kemampuan untuk menghentikan laju subsiden, menjaga kelangsungan pasokan air bersih, mengurangi risiko kebakaran, dan berfungsi sebagai pendukung utama dalam sistem transportasi. Hasil dari sistem pertanian seperti ini membuat ekonomi warga sekitar semakin meningkat. Komponen sosial dan ekonomi mengalami perkembangan karena produktivitas pertanian kelapa meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan dan stabilitas pendapatan. Sehingga cara semacam ini bisa dilakukan oleh semua orang untuk memperluas lahan pertanian.
Lahan suboptimal pada praktiknya dapat dijadikan area untuk praktik-praktik konservasi air dan tanah. Melalui teknik-teknik seperti reboisasi, tanaman penutup tanah, dan pembuatan teras, lahan suboptimal dapat diubah menjadi lahan yang lebih produktif dan ramah lingkungan. Praktik ini membantu mengendalikan erosi tanah, meningkatkan ketersediaan air, dan memperbaiki struktur tanah. Dengan memanfaatkan lahan suboptimal secara berkelanjutan, dapat diciptakan sistem pertanian yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Sehingga potensi gagal panen menjadi lebih rendah.
Dengan cara seperti itu, manfaat lahan suboptimal akan terasa. Dan banyak orang akan melirik petani sebagai profesi yang menjanjikan. Pemanfaatan lahan suboptimal secara maksimal dan dukungan dari pemerintah, akan menguatkan sektor pertanian, dan menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar yang menyokong pangan dunia.
Cara termudah untuk mendapat kabar terbaru terkait isu pangan dan pertanian.
Semua gambar merupakan hak cipta untuk pemiliknya. Kami melakukan segala usaha untuk menghargai fotografer. Jika Anda memiliki hak atas salah satu gambar dan gambar tersebut tidak dikreditkan, atau Anda tidak ingin gambar tersebut muncul di situs kami, silakan hubungi kami di [email protected].