Mengadopsi Budaya Bertani di Jepang

Akhmad Idris

 

Sektor pertanian merupakan satu di antara kunci masa depan ketahanan pangan di Indonesia. Keberlanjutan regenerasi petani sebagai produsen pangan yang tidak dapat dipastikan, akan menjadi masalah besar bagi ketahanan sosial.

Logika sederhananya seperti ini: jika generasi muda Indonesia enggan berprofesi sebagai petani ̶ sebab beberapa alasan yang nanti akan dijelaskan ̶ , maka rakyat Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memperoleh ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan bisa saja terpenuhi ̶ lewat jalur impor ̶ , tetapi pilihan ini tentu saja semakin membebani anggaran Negara yang ‘terbatas’. Ditambah lagi, sebutan Negara Agraris ̶ padahal secara data, Indonesia kini tak lagi agraris karena sektor industri lah yang paling banyak memberikan sumbangan pertumbuhan ekonomi ̶ yang telanjur melekat erat membuat sektor pertanian akan selalu menjadi bahan pertimbangan.

Rasa enggan untuk menjadi seorang petani di dalam benak para pemuda, membuat pemerintah segera berupaya untuk mengatasi ancaman regenerasi petani lewat program pemagangan petani muda ke Jepang. Program ini merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang diselenggarakan oleh BPPSDMP (Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian) Kementerian Pertanian sejak tahun 1984. Sistematika sederhana program ini adalah BPPSDMP melakukan seleksi terhadap para calon pemagang, lalu para peserta yang dinyatakan lolos seleksi (biasa disebut sebagai kenshuusei/trainee/pebelajar sambil bekerja) akan diberangkatkan ke Jepang untuk mempelajari pertanian modern di Jepang ̶ yang tentunya membutuhkan proses adaptasi ̶ selama 8 bulan/1 tahun/2 tahun, dan ketika kembali ke Indonesia mereka dapat mengadopsi segala ilmu yang telah diperoleh di Jepang untuk diterapkan di Indonesia. Kelihatannya memang sederhana, tetapi fakta di lapangan kerap kali tak sesederhana kelihatannya. Di luar itu, program ini tetaplah menjadi secercah harapan untuk keberlangsungan profesi petani di bumi pertiwi yang sering ‘dipandang sebelah mata’.

Penurunan minat bertani generasi muda disebabkan oleh berbagai faktor, satu di antaranya adalah alih fungsi lahan. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian pada tahun 2015, ditunjukkan bahwa dampak dari konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan adalah kehilangan sekitar 2 % rumah tangga petani setiap tahunnya. Mereka lebih memilih ‘berhijrah’ menjadi seorang pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang, dan lain sebagainya. Keuntungan profesi petani semakin sulit dicari jika lahan pertanian semakin ‘dilenyapkan’. Faktor lainnya yang juga ‘cukup’ berpengaruh dalam penurunan minat bertani generasi muda menurut Suyanto (2017) dalam tulisannya yang berjudul Krisis Regenerasi Petani Muda yaitu asumsi yang memandang profesi petani identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaksejahteraan. Jika memang sudah seperti ini, maka program kenshuusei pertanian di Jepang diharapkan mampu mengubah persepsi ‘mengerikan’ tersebut sekaligus mampu menyiasati maraknya alih fungsi lahan.

Budaya Bertani di Jepang dan Harapan agar Dapat Diadopsi di Indonesia

Para kenshuusei yang telah diberangkatkan ke Jepang untuk belajar ihwal pertanian akan dihadapkan dengan bahasa dan budaya ‘baru’. Komunikasi sehari-hari yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dll dan beralih menggunakan bahasa Jepang akan menjadi langkah awal adaptasi mereka di Negeri Sakura. Selain bahasa, kondisi cuaca dan penggunaan alat-alat pertanian di Jepang ̶ yang notabenenya berbeda dengan di Indonesia ̶ juga menjadi PR untuk para kenshuusei. Dari pelbagai kisah pemagangan inilah, diperoleh budaya-budaya bertani di Jepang yang dapat diaplikasikan oleh para kenshuusei ketika kembali ke tanah air mereka. Satu di antaranya adalah budaya disiplin terhadap waktu.

Kedisiplinan waktu di Jepang dirasakan oleh Nanang ̶ salah satu alumni kenshuusei pertanian tahun 1999 ̶ yang diceritakan Devi Riskianingrum (2018) dalam tulisannya yang berjudul Kisah-Kisah Transformasi Pengetahuan Alumni Magang Jepang dalam Perspektif Sejarah. Disebutkan oleh Nanang bahwa kehidupan di Jepang telah terjadwal dengan rapi, baik dalam urusan pekerjaan maupun kegiatan rutin harian. Misalnya saja, waktu bekerja di ladang dimulai pukul 7 pagi dan berakhir di pukul 5 sore. Selalu seperti itu, tidak boleh terlambat. Budaya ini agaknya perlu benar-benar diadopsi di Indonesia yang konon jam yang berlaku di Indonesia adalah ‘Jam Karet’. Artinya, jam atau waktu yang bisa dimajukan atau dimundurkan sesuka hati. Ketika sebuah kegiatan telah dijadwalkan pukul 09.00, maka telah menjadi rahasia umum bahwa peserta akan berkumpul pada pukul 10.00. Hebatnya lagi, budaya seperti ini telah dianggap biasa. Luar biasa, bukan?

Tak hanya ihwal kedisiplinan waktu, Devi Riskianingrum juga menceritakan tentang konsep “bertani mulai dari pasar” dari salah satu alumni kenshuusei pertanian tahun 1987 asal Lembang yang bernama Ishak. Selama 8 bulan di Jepang, Ishak memperoleh sebuah pemahaman baru bahwa tanaman yang diolah petani di Jepang ditanam berdasarkan kebutuhan pasar. Konsep semacam ini bertujuan untuk menghindari overproduksi. Lalu, apa keuntungan dari ketiadaan overproduksi? Logika sederhananya seperti ini: jika produksi tanaman terlalu banyak alias over, maka harga komoditas tanaman tersebut menjadi rendah (karena stok teralu berlimpah) dan hal ini tentu saja merugikan petani. Penggunaan konsep “bertani mulai dari pasar” akan lebih memberikan janji keberlangsungan pertanian dengan keuntungan yang lebih baik. Pemahaman seperti inilah yang tidak ditemui oleh Ishak ketika berada di Lembang, sebab sang ayah dengan lahan seluas lima hektare selalu menanam komoditas yang sama, yakni kentang dan jagung sebab tidak berani mengambil risiko. 

Budaya Jepang selanjutnya yang tidak kalah penting dari yang telah disebutkan adalah pengetahuan tentang kepemilikan lahan. Budaya ini masih berdasarkan kisah pengalaman magang dari Ishak. Orang tua ‘angkat’ Ishak selama di Jepang ̶ dalam hal ini biasanya disebut dengan istilah Otosan ̶ sering mengingatkan Ishak bahwa lahan adalah kehidupan bagi seorang petani, sehingga harus dijaga kelestariannya. Pemahaman seperti ini justru berbanding terbalik dengan pemahaman yang beredar di masyarakat Indonesia, yakni kecenderungan lahan yang semakin menyempit karena dibagi-bagikan kepada anak-cucu sebagai bentuk warisan. Memang benar warisan harus dibagikan kepada ahli waris, tetapi pembagian warisan tidak harus dengan cara mempersempit lahan. Satu di antara cara membagi warisan tanpa mengurangi luas lahan adalah membagi hasil bumi atas lahan tersebut, sehingga lahan tetap terjaga kelestariannya alias tidak hilang dan ‘bermutasi’ menjadi nominal angka-angka yang kerap dipanggil dengan sebutan ‘uang’. 

Sebuah Harapan di Akhir Tulisan

Adopsi pengetahuan dari Jepang untuk diaplikasikan di bumi pertiwi memang dinanti oleh keluarga dan masyarakat, tetapi dalam praktiknya hal itu tidak semudah menjektikkan jari. Perbedaan sudut pandang antara petani modern dan petani konvensional kerap kali menimbulkan konflik berkepanjangan yang ujung-ujungnya membuat para alumni kenshuusei pertanian menyerah dan patah semangat. Peran pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini lewat penyuluhan informasi dari desa ke desa bahwa ‘pengetahuan baru’ yang dibawa alumni kenshuusei tidak bertujuan untuk menggilas budaya bertani yang telah diwariskan secara turun-temurun, tetapi justru untuk mengukuhkan eksistensi tradisi bertani agar mampu bersaing dengan zaman yang semakin modern ini. Standard seleksi calon peserta kenshuusei juga perlu dievaluasi secara berkala agar peserta magang pertanian ke Jepang benar-benar tepat sasaran, bukan hanya sekadar peserta yang ingin mendapatkan uang saku ̶ yang memang cukup besar ̶ . 

Akhir kata, semoga program kenshuusei pertanian di Jepang ini tetap berlangsung secara konsisten dan menjaga keberlangsungan profesi bertani di bumi pertiwi ini. Dengan berbagai hal yang masih perlu dievaluasi, program ini tetaplah menjadi secercah harapan untuk keberlangsungan profesi petani di bumi pertiwi yang sering ‘dipandang sebelah mata’.

Artikel ini pernah di terbitkan di Kompas

READ MORE...

Akhmad Idris

Want to Send Your Writing To Us?