Salah satu wilayah di Indonesia yang dapat dijadikan contoh dalam pemanfaatan lahan gambut adalah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Jambi. Sejarah pemanfaatan lahan gambut di Tanjabar sudah berabad umurnya. Berbagai jenis komiditi pernah dibudidayakan oleh petani, dari tanaman semusim, sampai tanaman tahunan, sampai akhirnya mereka menemukan kombinasi jenis yang cocok seperti saat ini.
Fakta menarik ketika berkunjung ke Tanjabar, sepanjang jalan dari Kota Jambi menuju ibukota kabupaten di Kuala Tungkal, pemandangan dihiasi oleh kebun kopi yang ditanam bercampur dengan kelapa dan pinang yang membentuk agroforestri berbasis kopi. Kopi mulai dibudidayakan masyarakat secara besar-besaran sejak akhir tahun 80an. Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) berupa penanaman kelapa hibrida mengalami kegagalan karena serangan hama babi. Akibatnya, petani beralternatif dengan menyisipkan kopi dan pinang di antara pohon kelapa mati. Pohon pinang ditanam di sepanjang parit anak untuk memperkuat struktur tanah agar tanah tidak longsor menutupi parit. Kelapa dan pinang ternyata menjadi naungan yang baik untuk tanaman kopi. Ketika produktiftas dan harga kelapa/kopra terus menurun, kopi menjadi tanaman utama karena harganya relatif stabil.
Kopi yang banyak ditemui di daerah Tanjabar merupakan kopi jenis liberika. Kopi liberika adalah kopi yang berasal dari wilayah Liberica, Afrika Barat. Kopi Liberika ini pada awalnya dibawa oleh H. Sayuti dari Malaysia sekitar tahun 1945 ke wilayah Jambi, dan ternyata kopi liberika dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di lahan gambut. Pada 6 Desember 2013, Menteri Pertanian, Suswono mengeluarkan surat keputusan menetapkan varietas kopi di Tanjung Jabung Barat, dengan nama liberika Tungkal komposit (libtukom). Dalam sertifikat indikasi geografis dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM 23 Juli 2015, tertulis hasil uji citarasa oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia, menyimpulkan, Liberika Tungkal dengan proses olah basah kopi peram (OBKP) memiliki citarasa herbal, rubbery, rutter sourish and too high acidity. Jenis ini mendapatkan final score notation spesialit grade 82,75. Untuk kopi olah basah kopi madu (OBKM) memiliki cita rasa herbal, rubbery, sweet, strong aroma, heavybody and very balance dengan final score notation spesialit grade 83,5.
Jumlah pohon dalam 1 ha dapat mencapai 1.000 pohon jika menggunakan jarak tanam 3m x 3m. Hasil panen dari kebun masyarakat kurang lebih 500 kg/ha/th. Kemudian petani menjual biji kopi kering (kadar air 12%) dengan cara menyetor ke pengepul, atau sebaliknya pengepul datang ke petani. Rata – rata, harga di tingkat petani saat ini sekitar Rp. 42.000,- (standar) dan Rp. 65.000; (kualitas premium).
Sebagian besar produksi kopi liberika dari masyarakat di Tanjabar akan dibawa ke Kuala Tungkal untuk diekspor ke Malaysia dan Singapura. Malaysia adalah salah satu pengkonsumsi kopi jenis liberika terbesar di dunia. Tak jarang, untuk memenuhi kebutuhan kopi Liberika, Malaysia mengimpor kopi Liberika dari Indonesia, terutama dari perkebunan kopi di Jambi. Filipina juga termasuk pengkonsumsi kopi Liberika dengan luas perkebunan mencapai 25% dari total kebun kopi disana. Masyarakat lokal Filipina menyebutnya sebagai Kapeng Barako (Barako Coffee).
Selain potensi pasar ekspor dari kopi liberika yang besar dan masih dapat terus ditingkatkan, pangsa pasar domestik juga perlu ditingkatkan secara masif dan berkala, terlebih masih banyak masyarakat Indonesia yang masih belum mengenal kopi jenis liberika ini. Saat ini tren mengkonsumsi kopi terus meningkat dari hari kehari, tak hanya tertarik meminum kopinya saja, sebagian orang ikut belajar tentang segala ilmu pengetahuan kopi, mulai dari penanaman sampai ke barista. Hal tersebut merupakan kesempatan baik bagi petani maupun pemerintah untuk memperkenalkan kopi liberika pada pasar dalam negeri.
Peningkatan, penjaminan mutu produksi kopi juga harus tetap dijaga. Selain itu, inovasi guna diversifikasi produk dan peningkatan nilai tambah juga menjadi hal yang harus diperhatikan, agar tidak hanya bergantung pada satu jenis pasar saja. Semisal pemberian sertifikasi organik dan penjualan produk kopi bubuk kemasan. Tidak lupa, perbaikan dan penyempurnaan rantai nilai efektif, dengan mengurangi aktor yang terlibat juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani kopi.
Sumber :
World Argoforestry Centre (ICRAF) Indonesia Volume 6 No.2 – August 2013. Kiprah Agroforestri (Edisi Khusus Tanjung Jabung Barat, Jambi)